Pages

Mordenisasi Pendidikan Pesantren dalam Kerangka Sistem Pendidikan Nasional

A. Pendahuluan
Pembaruan [1] merupakan kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang pendidikan. Pembaruan pendidikan merupakan proses perombakan pola berpikir dan tatakerja lama dunia pendidikan yang tidak rasional dan efektif , diganti dengan pola berpikir dan tatakerja baru yang lebih rasional dan efektif. Banyak substansi dan persoalan pendidikan nasional  yang harus direnungkan dan membutuhkan jawaban.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang diberi judul Human Development Report 1996, ternyata Indonesia berada pada peringkat ke-102 dari 174 negara di dunia. Beberapa negara tetangga yang termasuk anggota ASEAN mempunyai peringkat lebih baik dari kita; Singapora berada pada peringkat 34, Brunei Darussalam 36, Thailan 52, dan malaysia pada peringkat 53.[2] Data tersebut dapat menjadi indikator betapa rendahnya sumber daya manusia Indonesia.
Rendahnya sumber daya manusia Indonesia juga dapat dilihat dari pendidikan angkatan kerja kita saat ini. Sebagian besar angkatan kerja (53%) tidak berpendidikan. Mereka yang berpendidikan dasar sebanyak 34%, berpendidikan menengah 11%, dan yang  berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2%. Padahal tuntutan dari dunia kerja pada  akhir  jangka panjang II nanti mengharuskan angkatan kerja kita berpendidikan. Dari angkatan kerja yang ada hanya 11% saja yang tidak berpendidikan, 52% berpendidikan  dasar, 32% berpendidikan  menengah, dan 5% dari angkatan kerja harus telah berpendidikan universitas.[3] Di samping itu, pendidikan nasional kita masih melahirkan  mismatch  yang luar biasa dengan tuntutan dunia kerja. Hal itu dapat dilihat persentase pengangguran berdasarkan bidang pendidikan di sektor pendidikan tinggi, yang  bersumber  dari cerama  Dirjen Dikti  pada rakernas  Pascasarjana yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam: Pendidikan 10,97 %, Seni 18,90 %, Ekonomi 16,31 %, Psikologi 3,23 %, Hukum 14,99 %, Matematika 11,80 %, Ilmu Pengetahuan Alam 10,01 %, Ilmu Kedokteran 3,82 %, Teknik 7,64, dan Pertanian 18,16 %.[4]
Data-data di atas merupakan bukti lain dari kegagalan praksis pendidikan nasional Indonesia. Berdasarkan data-data tersebut dapat dipastikan bangsa Indonesia akan mengalami kesulitan dalam bersaing di tingkat global. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi yang amat cepat, eskalasi pasar bebas antara negara dan bangsa yang semakin meningkat, iklim kompetisi dalam berbagai bidang kehidupan yang semakin ketat, dan tuntutan demokratisasi serta masalah hak asasi manusia merupakan tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia agar kita bisa hidup terus dan bertahan (survive) dalam percaturan kehidupan antar bangsa dan dunia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan refleksi terhadap system dan praksis pendidikan nasional. Dalam konteks ini, reformasi pendidikan merupakan hal yang tak dapat dihindari bahkan harus segera dilakukan. Dalam tulisan ini, penulias akan focus pada system pendidikan pesantren.


B. Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia. Dalam sejarah pertumbuhannya, ia memiliki akar tradisi sangat kuat di lingkungan masyarakat. Pengakuan dan perhatian pemerintah terhadap lembaga ini telah dimulai sejak awal-awal kemerdekaan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari salah satu usulan BP­KNPI tahun 1945:   " Madrasah dan Pesantren yang pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indoneisa umumnya, hendaklah mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materil dari pemerintah".[5]
Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan nasional, adalah tokoh yang menyokong dan pernah melaksanakan pendidikan dengan sistem pondok. Menurut beliau, sistem ini adalah sistem nasional. Sistem ini hidup di nasyarakat semenjak zaman Hindu-Budha sampai sekarang. Dalam sistem pengajaran dan pendidikan selalu berhubungan, sebab hubungan guru dan murid berlangsung terus menerus, siang dan malam. Lagi pula , dalam sistim ini dapat berpadu suatu perguruan, kepemudaan, dan kekeluargaan sekaligus. [6] Selain itu, KH. A. Wahid Hasyim, sewaktu menduduki jabatan Menteri Agama, telah meletakkan dasar-dasar tugas kementerian agama (pemerintah) terhadap agama. Perhatiannya terhadap pondok pesantren dapat dilihat kutipan berikut : [7]
"sekolah-sekolah agama, termasuk pesantren, tidak boleh dibiarkan terus seperti waktu sebelumnya. Bila halnya demikian,usaha-usaha pembangunan masyarakat dalam rencana yang ditentukan tidak atau sukar dicapai. Pondok pesantren dan hasil-hasil pekerjaannya tidak akan memahami rencana­-rencana nasional dan akan makin jauh dari proses kehidupan kenegaraan. Dan lebih berbahaya lagi, masyarakat dan bangsa akan terdiri dari dua kelompok kultur generasi yang bertentangan satu sama lain: yang satu modern, yang lain tidak modern. Hal seperti ini akan membawa kesulitan dan persoalan yang berkepanjangan di kemuadian hari. Sepanjang kita bermaksud memperbaiki seluruh bangsa ini, keadaan yang kurang menguntungkan pada sebagian dari kita menjadi masalah kita semuanya. Keterlibatan itu dapat bersumber pada banyak pertimbangan. Multidimensinya pendidikan pondok pesantren ini, memungkinkan semua fihak berandil kepentingan bagi mendorong maju pondok pesantren. Masyarakat dan usaha-usahanya memerlukan maju serempak dalam suatu sistim kerja”.

Menurut suyoto, lembaga pendidikan pesantren dalam jangka waktu yang sangat panjang seperti terlupakan. [8] Departemen Agama, sejak didirikan pada tanggal 3 januari 1946 hanya mengurus pendidikan madrasah. Sedangkan untuk pesantren Departemen Agama tidak ikut campur. la hanya menganjurkan kepada pihak pesantren untuk mengadakan modernisasi dan mengambil alih sistim madrasah. [9] Di samping itu, para pendidik dan ahli pendidikan sendiri juga kurang berminat mengetahui lebih banyak dan lebih mendalam tentang masalah pesantren. Yang banyak berminat tentang pesantren malahan datang dari kalangan luar pendidik dan ahli pendidikan.[10]
Pada dekade 1970-an, lembaga pendidikan pesantren mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Berbagai program pembangunan di lembagakan.[11]Walaupun pada mulanya perhatian itu bertendensi poitik, yaitu dalam konteks penggalangan dukungan umat Islam tradisional. Akan tetapi dalam perkembangannya, program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah secara substasial memang menuntut keterlibatan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial yang memiliki akar kuat di masyarakat. Melalui program­-program pembangunan ini pesantren terlibat secara intensif dalam upaya pembangunan masyarakat.[12]


C.  Pengertian, Ciri-Ciri, dan Unsur-Unsur Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri. Santri itu sendiri, menurut profesor Johns, berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shatri berasal dari shastra yang berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[13]
 Sebenarnya istilah pesantren telah dikenal jauh sebelum kedatangan Islam di Nusantara. Pada masa pra-Islam, lembaga pendidikan model pesantren berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha.[14] Dengan demikian, bisa saja terjadi istilah santri telah dikenal di kalangan masyarakat Indonesia sebelum Islam masuk.
Pada masa Islam, pesantren berkembang menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman. Di lembaga inilah Muslim Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan yang harus dikerjakan oleh masyarakat yang baru beralih menjadi Muslim. Pada perkembangan selanjutnya, pesantren menjadi agen pencetak elit agama dan pemelihara tradisi Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
 Saat ini, pengertian yang populer dari pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fr al- din dengan menekankan moral dalam bermasyarakat."[15]
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang unik. la bukan semacam sekolah atau madrasah, walaupun dalam lingkungan  pesantren  sekarang ini telah banyak pula didirikan unit-unit pendidikan klasikal dan kursus.[16] Keunikan  pesantren dapat lihat dari ciri-ciri sebagai berikut,yaitu: (1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kyai; (2) santri sangat tunduk kepada kyai; (3) hidup hemat dan sederhana. Hidup mewah bukanlah cirri khas pondok pesantren walaupun ada pondok  pesantren dalam pelaksanaan pendidikannya terkesan mewah; (4) ditanamkannya jiwa mandiri kepada santri , seperti mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamarnya sendiri, dan bahkan tidak sedikit yang memasak makanannya sendiri; (5) adanya jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan antara sesama santri; (6) pendidikan disiplin sangat ditekankan; (7) berani menderita untuk mencapai tujuan; (8) adanya kehidupan agama yang baik, karena memang pesantren adalah tempat pendidikan dan pengajaran agama; [17] (9) Adanya metode pengajaran yang khas pesantren yang jarang atau bahkan tidak dijumpai di lembaga pendidikan lain , seperti wetonan atau bandongan, sorogan, dan musyawarah.[18]
Untuk disebut sebagai pesantren, sebuah lembaga pendidikan harus memenuhi beberapa unsur, yang menurut Dhofier terdiri dari pondok/ asrama, mesjid, santri, pengajaran kitab Islam klasik (kitab kuning), dan kyai. [19] Sukamto menilai bahwa pendapat dhofier tersebut tampak hanya menitik beratkan pada aspek fisik (material factors) yang cenderung bergerak dalam kondisi stagnan. Analisa ini melepaskan perhatian akan perkembangan lembaga pondok pesantren dari unsur yang sederhana menjadi kompleks. Unsur-unsur pondok pesantren sangat variatif tatkala para kyai membuat kebijakan yang bersifat adaftif  terhadap  kurikulum  nasional dalam upaya memperbaharui  bidang  pendidikan di pondok pesantren.[20]
Berdasarkan hasil penelitian LP3ES jakarta tahun 1973 dengan sample daerah Bogor, Kafrawi mengemukakan lima type (pola) pondok pesantren : [21]
Pertama, pola I baru memiliki dua unsur; mesjid dan rumah kyai. Pesantren seperti ini masih bersift sederhana,  dimana kyai  mempergunakan mesjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Dalam  pola ini santri  hanya datang dari daerah sekitar  pesantren itu sendiri, namun mereka telah mempelajari ilmu agama secara kontinyu dan sistematis. Matode pengajarannya adalah weton dan sorogan.
Kedua, Pola II memiliki tiga unsur;  mesjid,  rumah  kyai, dan pondok/asrama bagi santri yang datang dari daerah lain.
Ketiga, Pola III telah memiliki  empat  unsur;  mesjid, rumah kyai, pondok/asrama, dan  madrasah. Pondok  pesantren  dengan  pola ini telah memiliki sistem klasikal, di mana santri yang mondok mendapat pendidikan di madrasah. Adakalanya  murid  madrasah itu datang dari daerah pesantren itu sendiri. Di samping ada madrasah, ada pula pengajaran sistem weton yang dilakukan oleh kyai. Pengajar madrasah biasanya hanya disebut guru agama atu ustaz.
Keempat, Pola IV memiliki lima unsur; mesjid, rumah kyai, pondok/asrama, madrasah, dan tempat  ketrampilan. Di samping ada madrasah, terdapat pula tempat untuk  latihan  ketrampilan, umpamanya, peternakan, kerajinan rakyat, tokoh koperasi, sawah, dan ladang, dan sebagainya.
Kelima, Pola V terdiri dari sembilan unsur, yaitu mesjid, rumah kyai, pondok/asrama,  madrasah,  tempat  ketrampilan,  universitas,  gedung  pertemuan, tempat olah raga, dan sekolah umum.  Pola pondok pesantren seperti ini merupakan pesantren yang telah berkembang dan bisa disebut pesantren modern. Di samping bangunan-bangunan  yang  disebut  di atas, terdapat pula bangunan-bangunan lain seperti; perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, toko, rumah penginapan tamu (orang tua murid dan tamu umum), ruang operation-room, dan sebagainya. Di antara pesantren terdapat pula sekolah-sekolah umum atau kejuruan umum seperti SMK, SMA,  dan sebagamya.
Terlepas dari perbedaan di atas, apapun bentuk dan type sebuah pondok pesantren, menurut DEPAG, [22] baru  dapat  disebut  sebagai  pondok pesantren apabila memiliki tiga unsur; (1) kyai/ ustazd guru yang mendidik; (2) santri dengan asramanya; dan (3) mesjid.

1.      Kyai
Menurut asal usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya, "Kyai Garuda Kencana." dipakai untuk  sebutan  Kereta Emas  yang  ada di keraton Jokjakarta. Kedua, gelar  kehormatan  bagi orang-orang  tua umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang ahli agama Islam yang memiliki atau memimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya.[23] Kyai dalam tulisan ini mengacu kepada pengertian ketiga, walaupun sebenarnya gelar kyai saat ini tidak lagi hanya ditujukan kepada mereka yang memimpin pesantren tetapi juga ditujukan kepada mereka yang mengerti agama. Pengertian kyai yang terkhir ini mengajarkan pengetahuan agama dengan cara bercerama dari desa ke desa, menyampaikan fatwa kepada masyarakat luas. Kyai seperti ini disebut juga dengan kyai teko atau kendi.
2.      Santri
Santri adalah siswa yang belajar di pesantren. Menurut tradisi pondok pesantren, terdapat dua kelompok santri; pertama, santri  mukim yaitu santri yang berdatangan dari tempat-tempat jauh  yang  tidak  memungkinkan  dia untuk  pulang  ke rumahnya, maka dia mondok (tinggal) di pesantren; dan kedua adalah santri  kalong yaitu mereka yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan  mereka  pulang ke tempat  tinggal masing-masing. [24] Di samping  itu, di beberapa  pesantren  dikenal  juga  istilah;  pertama santri sarung, yaitu mereka  yang hanya menekuni kitab-kitab kuning. Tipologi fisiknya adalah  kemanapun mereka pergi selalu memakai sarung, berbaju taqwa, dan berkopiah, serta sebuah kitab untuk dikaji maknanya. Kedua, santri celana, yaitu santri yang menempuh pelajaran-pelajaran sekolah umum di lingkungan pesantren. Sebutan celana diambil dari kebiasaan mereka memakai celanan ketika ke sekolah, dan sering dikenal sering memakai celana dari pada sarung.[25]

3.      Pondok/Asrama
Pondok/asrama  adalah  tempat  tinggal santri, bahkan tempat  tinggal  kyai kalau belum punya rumah sendiri. la adalah suatu keniscayaan yang harus ada dalam sebuah pondok pesantren. Berdasarkan penelitian dhofier, ada beberapa alasan pokok pentingnya asrama dalam suatu pesantren: pertama, banyaknya santri­-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada seorang kyai yang sudah termasyhur  keahliannya. Kedua, pesantren-pesantren  banyak  terletak  di desa-desa, di mana tidak tersedia  perumahan santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada hubungan  timbal  balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap kyai sebagai orang tuanya sendiri.[26]
Di samping alasan di atas, kedudukan asrama sebagai salah satu unsur pokok  pesantren sangat besar sekali manfaatnya. Dengan  adanya asrama, suasana belajar santri baik kurikuler, ekstrakurikuler, kokurikuler, dan hidden kurikuler dapat dilaksanakan secara efektif. Di samping itu, santri dapat dikondisikan  dalam  suasana  belajar  sepanjang hari dan malam, sehingga dengan demikian, tidak ada waktu-waktu santri yang terbuang percuma. Seandainya  tidak  ada  asrama  maka  suasana  belajar tersebut hanya berlangsung selama santri berada di tempat itu.[27]

4.      Mesjid
Mesjid merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh pondok pesantren. Karena di sinilah pada mulanya, sebelum mengenal sistem klasikal, proses  belajar-mengajar  berlangsung. Meskipun  sekarang banyak  pesantren telah melaksanakan sistem klasikal, namun mesjid tetap menjadi tempat yang urgen sebagai tempat mendidik para santri, terutama dalam praktek sholat, khutbah, sholat  jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Di samping itu, para santri pun  memfungsikan  mesjid sebagai tempat  mengulangi dan menghafal pelajaran. Pada waktu-waktu tertentu, biasanya sebelum dan sesudah shalat fardhu, para santri menghafal pelajaran mereka dan membaca dan menghafal al-Quran di mesjid.

D. Tujuan, Kurikulum, dan Metode Pengajaran Pesantren
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sukamto, bahwa  sebagian  besar pesantren  tidak mencamtumkan tujuan pendidikannya secara tertulis. Menurutnya, [28] hal ini dimaksudkan sebagai upaya secara diam-diam untuk menghindari sikap ria', yaitu memamerkan perbuatan-perbuatan baik. Karena secara. psikologis, kyai memiliki keyakinan keagamaan bahwa perbuatan baik yang diikuti dengan sikap ria  tidak akan mendapat pahala dari Tuhan, sekalipun itu dilakukan dengan jeri payah sendiri. Di samping itu, sebuah pesantren  didirikan  bermula  dari  kegiatan  usaha seorang kyai yang  didukung  keluarganya  secara  mandiri, sehingga hal-hal  yang bersifat formal yang tertuang dalam statistik tidak begitu penting.
Namun, hal itu bukan berarti bahwa pendirian sebuah pesantren hampa dari tujuan. Tujuan itu pasti ada, dan ia selalu dijelaskan  kyai ketika menyampaikan pengajian kepada para santri, dan biasanya berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan dan budi pekerti yang baik, baik  terhadap  Allah  swt., kepada orang tua, maupun  kepada guru yang mendidik. [29] Dengan demikian, tujuan sebuah pesantren sangat erat kaitannya dengan pribadi kyai; sejauh mana kualitas keilmuan kyai, dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, banyak pesantren mempunyai keistimewaannya sendiri-sendiri. Misalnya: pesantren Tebuireng, Tambak Beras, Denanyar, Termas, dan Lasem terkenal dengan Rill dan ilmu hadis; Lasem, Nglirrap, Lirboyo, Benda Jampes terkenal dengan ilmu alat; Krapyak, Cintapanda, Wonokromo, dan pondok-pondok di Kediri dan Banten terkenal dengan qiraah al-wuran; pondok modern Gontor terkenal dengan pendidikan kemasyarakatan serta pengajaran bahasa Aran dan Inggris secara aktif yang berhasil; dan lain sebagainya.[30]
Tetapi, meskipun  setiap  pesantren  memilik  karakteristik  sendiri, namun secara umum semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencetak ahli agama dan ulama yang : (1) menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al din) dan mampu melahirkan insan-insan yang mutafaqqih fi al din; (2) menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dengan tekun, ikhlas semata-mata untuk berbakti dan mengabdi kepada Allah swt.; (3) mampu menghidupkan sunnah Rasul dan menyebarkan ajaran-ajarannya secara kaffah (utuh); (4) berakhlak luhur, berpekir kritis, berjiwa dinamis, dan istiqamah; (5) berjiwa besar, kuat mental dan fisik, hidup sederhana, tahan uji, berjamaah, beribadah, tawaddu', kasih sayang terhadap sesama, mahabbah dan khasyah serta tawakkal kepada Allah swt.[31]
Untuk mencapai tujuan tersebut, pondok pesantren memiliki kurikulum yang khas. Walaupun pada sebagian pesantren istilah kurikulum tidak diketemukan, tetapi materinya ada dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani,  dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren, yang merupakan kesatuan dalam proses pendidikan di Pesantren. Jika yang dimaksud kurikulum adalah dalam konteks mata pelajaran, maka kitab kuning  [32]  merupakan referensi pokok, untuk tidak mengatakan satu-satunya, yang menjadi bahan kajian di hampir seluruh  pesantren di tanah air. la meliputi berbagai cabang keilmua Islam yang menurut Imam al Suyuthi (w. 911 H), berjumlah empat belas cabang ilmu dan pengatahuan. Dari jumlah itu, sepanjang diketahuai secara populer di pesantren, hanya ada beberapa saja yang diajarkan, yaitu fikih,  akidah, tata bahasa Arab (nahwu, sharaf, dan balaghah), hadis, tasawuf, dan sejarah nabi. Di samping itu diajarkan juga ilmu-ilmu lain seperti : tafsir al-Quran, teologi, ushul  fikih,  logika,  sejarah  peradaban Islam hingga dunia Islam kontemporer.[33]
Menurut Martin van Bruinessen, seorang peneliti dari Belanda, pada akhir abad ke-20 ini judul kitab kuning yang beredar di kalangan pesantren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul. [34] Namun, tidak seluruh kitab-kitab keislaman tersebut yang diajarkan kepada santri.  Bahkan  kebanyakan  hanya  merupakan  bacaan  para ustaz  dan  kyai, sebagai  pengkayaan materi ajar, dan ada kalanya sebagian kitab itu hanya didiskusikan secara terbatas di antara mereka. Menurut Steenbrink, hampir seluruh kitab yang dipakai oleh pesantren tersebut berasal dari zaman pertengahan dunia Islam. [35]
Kitab-kitab  kuning yang diajarkan di pesantren memiliki tingkatan­-tingkatan. Tingkatan-tingkatan  tersebut ditentukan oleh keadaan santri; tingkat pemula (awwaliyah), tingkat menengah (wushtha), dan tingkat tinggi (`aly). Ada juga tingkatan itu ditentukan  pola penyajian kitan itu sendiri, seperti pola matan, syarah, dan khasyiyah. Pola lain dalam  penyajian  kitab yang tampaknya memperkuat kecenderungan pembagian tingkatan  itu  adalah kitab-kitab  jenis  mukhtashar yang merupakan ringkasan  dari  kitab  yang  ada, mubassathah atau mutawassithah yang tampaknya berisi tambahan  penjelasan, dan  muthawwalah  yang  memberikan  tambahan  penjelasan yang lebih banyak, namun bukan syarah atau bukan pula khasiyah.
Dari sejumlah kajian kitab kuning  yang  diajarkan  di pesantren,  fikih  merupakan disiplin ilmu yang memperoleh perhatian terbesar, [36]  tapi bukan berarti pelajaran lain diabaikan. Karya-karya  fikih yang dipelajari di pesantren berada dalam satu alur  pemikiran  mazhab,  khususnya  mazhab  al-Syafi'i. Survei  van Brinessen dalam hal ini perlu dicatat. la mengungkapkan bahwa karya-karya fikih Syafi'i berasal atau merupakan  kreasi  lanjutan  dari  tiga   kitab kuning  pendahulu; masing-masing kitab al-Muharrar karya Rafi'i (w. 625 H11226 M), kitab al-Taqrib karya Abu Syuja' al-Ishfahani (w. 593 H/1197 M) dan kitab Qurrah al-`Ayn karangan Malibari (w. kira-kira 975 H/1567 M). Ketiga  kitab ini masing-masing  membuat garis sejarah perkembangan sejumlah kitab tersendiri sesudahnya.[37]
Pesantren  dengan  pendidikannya  mempunyai  sistem  dan  metode khusus dalam  pengajarannya. Sebenarnya, metode pengajaran adalah sesuatu hal yang setiap kali  dapat  berkembang dan berubah  sesuai  dengan metode yang lebih efektif  dan efisien untuk mengajarkan masing-masing cabang ilmu pengetahuan. Namun, dalam waktu yang sangat panjang pesantren secara agak seragam mempergunakan metode pengajaran yang lazim disebut sebagai weton dan  sorogan.
Dalam metode sorogan, satu  demi  satu  santri  menghadap  kyai atau guru dengan membawa kitab tertentu. Kyai/guru  membaca kitab tersebut kalimat demi kalimat kemudian menterjemahkan dan mejelaskan maksudnya. Setelah itu, seorang santri mengulangi bacaan tersebut, dan setelah dianggap mampu membaca dan memahami maknanya santri lain mendapat giliran, dan begitu seterusnya. Biasanya ngaji secara  individual  ini  dilaksanakan oleh santri yang belum senior dan dibatasi pada kitab-kitab  kecil  saja. Sedangkan  pada metode weton, santri  tidak menghadap kyai/guru  satu  persatu, tetapi semua santri peserta ngaji menghadap kyai/guru dengan membawa  kitab  tertentu  yang  telah  diprogramkan. Kyai/guru kemudian membacakan kitab tersebut dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara santri mencatat semua yang  dikatakan kyai/guru seperlunya. [38] Beberapa pesantren tetap bertahan dengan awet dengan dua metode pengajaran jenis ini, tanpa variasi atau pun perubahan. Metode pengajaran seperti itu bersifat khas pesantren, sebab hampir tidak dijumpai pada lembaga pendidikan lain.  Di samping dua metode di atas, ada juga metode hapalan dan metode munazharah (diskusi). Yang  pertama  adalah  metode  yang  melekat pada system  pendidikaan  pesantren. la merupakan implikasi dari pola pemikiran ahl al-hadits, dimana cara dan kecenderungan dalam mengkaji dan menyelesaikan suatu masalah dengan lebih memperhatikan aspek lahiriyah dan riwayat dari suatu teks. Perkembangan  selanjutnya adalah terbentuknya sistem keilmuan bercorak penukilan atau transmisi. Artinya, keilmuan hanya dapat dipandang sah dan kukuh bila dilakukan melalui  transmisi dan hapalan, dan baru setelah itu, menjadi keniscayaan. Lebih jauh lagi, parameter  kealiman seseorang dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghapal teks-teks. [39] Adapun metode munazharah dimaksudkan sebagai metode penyajian bahan pengajaran dengan cara santri membahasnya bersama-sama melalui tukar  pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam hal ini, kya guru bertindak sebagai moderator, fasilitator, atau instruktur.

E.  Reorientasi Tujuan Pendidikan Pesantren
Dalam menyelenggarakan pendidikan, penetapan tujuan merupakan bagian paling fundamental, karena la akan menentukan arah, isi, dan langkah­-langkah pendidikan yang akan dikembangkan. Dalam formulasi tujuan tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang dianut oleh pelaku pendidikan itu sendiri. Maka tidaklah heran antara satu lembaga pendidikan dengan lainnya memiliki tujuan yang berbeda, karena berbedanya kepentingan yang ingin dicapai.
Pondok pesantren sebagai salah satu pendidikan Islam seharusnya memiliki tujuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam. Selama ini, tujuan pendidikan pondok pesantren difokuskan untuk mencetak ahli agama dan ulama yang; pertama, menguasai ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan mampu melahirkan insan-insan yang mutafaqqih fiddin; kedua, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan tekun, ikhlas semata-mata untuk berbakti dan mengabdi kepada Allah SWT; ketiga, mampu menghidupkan sunnah Rasul dan menyebarkan ajaran-ajarannya secara kaffah (utuh); keempat, berakhlak luhur, berpikir kritis, berjiwa dinamis, dan istiqamah; dan kelima, berjiwa besar, kuat mental dan fisik, hidup sederhana, tahan uji, berjemaah, beribadah, tawaddu', kasih sayang terhadap sasama, mahabbah dan khasyah serta tawakkal kepada Allah SWT.[40]
Tujuan pendidikan pesantren di atas, secara konseptual cenderung terkonsentrasi pada masalah ukhrawiyah, dan nyaris lepas dari urusan-urusan dunyawiyah. Orientasi semacam ini, dalam oprasionalnya telah melahirkan kajian-kajian yang hanya mempelajari pelajaran-pelajaran "agama", seperti tafsir, hadis, mustalah hadis, tauhid, fikih, ushul fikih, nahu/saraf, dan sebagainya.  Dan telah maklum, pesantren telah berhasil mencapai tujuannya, yaitu mencetak ahli agama  dan "ulama".
Namun, apa yang telah dicapai oleh pesantren dengan pendidikannya, gambarannya persis dengan dialog yang terjadi antara Iqbal dan guru spiritualnya, Rumi. Berikut petikannya:[41]
Pikiran-pikiranku yang menerawang tinggi telah mencapai langit Tapi bumi aku terhina, kecewa, dan sekarat
Aku tak mampu menangani persoalan-persoalan dunia ini
Dan aku senantiasa mengahadapi batu-batu penarung di jalan ini Mengapa urusan-urusan dunia terlepas dari kontrolku ?
Mengapa si alim dalam agama ternyata dengan dalam persoalan dunia ?

Rumi tanpa pikir panjang menjawab:
Seseorang yang mengaku dapat berjalan di langit
Mengapa harus sukar baginya melangkah di bumi.

 Dari dialog di atas, dalam konteks pendidikan pesantren, dapat dijelaskan bahwa: pertama, sosok Muslim yang dilahirkan pesantren adalah sosok Muslim 'alim dalam ilmu keagamaan tapi "dungu" dan bingung apabila dihadapkan dengan persoalan dunia. Hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren memiliki fondasi fiolosofis yang rapuh. Kerapuhan ini muncul dalam bentuk dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Ilmu-ilmu "agama" menduduki porsi fardu `ain dan ilmu-ilmu "umum" menduduki porsi fardu kifayah, dan atau bahkan tidak dipelajari sama sekali. Padahal untuk menguasai dunia, ilmu-ilmu "umum" merupakan prasyarat yang harus dimiliki.
 Kedua, pemahaman "ulama" yang menjadi target pendidikan pesantren harus ditinjau ulang. Siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ulama oleh Al-Quran. Al-Quran telah menyatakan bahwa "yang paling takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah para ulama. Ternyata, permulaan ayat tersebut memberikan konotasi bahwa "ulama" yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ilmuan-ilmuan ilmu kealaman yang mau melakukan perenungan di dalamnya.[42]
Hal tersebut bisa dilihat dalam firman-Nya:
"Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit,lalu Kami hasilkan dengan hujan-hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanya para ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Mengampuni". (Q.S. Fathir: 27-28)

Dengan demikian, formulasi tujuan pendidikan yang telah ditetapkan pihak pesantren memiliki kelemahan, bahkan secara konseptual bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah mengupayakan peserta didik sebagai manusia pengabdi kepada Khaliqnya dan mampu membangun dunia, serta mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan Allah SWT. (Q.S. 51 : 56). [43] Dengan demikian, tujuan pendidikan pesantren harus diarahkan dalam rangka menjadikan peserta didik sebagai `abdullah dan khalifatullah yang mampu menjalankan tugas kehidupan di permukaan bumi, mampu beribadah sebagai hamba Allah, mampu berakhlak mulia, dan mampu mengembangkan segenap potensi kehidupannya, sehingga ia dapat memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
Di samping itu, formulasi tujuan pendidikan pesantren harus mampu menyentuh semua aspek dasar yang ada pada manusia secara utuh. Aspek-aspek dasar tersebut adalah aspek rohaniyah (ahdaf al-ruhiyah), aspek jasmaniyah (ahdaf al jasmiyah) dan aspek akal (ahdaf al-'aqliyah).[44] Aspek rohaniyah harus disentuh pendidikan karena ia dianggap berhubungan langsung dengan Zat Tuhan, dan ia merupakan sumber kesadaran manusia atas eksistensi material ini. Dengannya manusia akan mampu menerima ajaran Islam secara kaffah. Intinya adalah terbinanya keimanan dan ketundukan kapada semua perintah dan larangan Allah SWT. Hal itu akan terlihat lewat pantulan nilai-nilai moralitas religius dengan mengikuti keteladanan Rasulullah saw dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan jasmaniyah juga penting, kaitannya dengan manusia sebagai khalifah fi al-ardh. Agar manusia mampu melaksanakan tugasnya secara optimal maka ia harus memilki jasmani yang sehat dan kuat. Karena dalam tugasnya manusia senantiasa dituntut untuk melakukan interaksi secara aktif dengan lingkungannya. Namun pendidikan jasmaniyah ini tidak bisa berdiri sendiri. la senantiasa harus dihubungkan dengan pendidikan rohaniyah. Jika kedua aspek ini dipisahkan dan dikontrol oleh aspek-aspek eksternal dan fisis, maka ia dikenal sebagai diri yang paling rendah.[45]
Kemudian, akal merupakan prinsip universal dari seluruh intelegensi dan merupakan sumber dari pemikiran logis manusia. Untuk itu perlu dididik. Tujuannya adalah untuk mengembangkan intelegensi manusia tersebut. Dengan akalnya, manusia mampu menganalisa dan memahami berbagai fenomena yang ada, sehingga ia mampu mendapatkan hakekat kebenaran yang sebenar-benarnya. Dengan akalnya, manusia juga mampu berkreasi lewat bentuk kebudayaan yang diciptakan, sebagai persentuhan alam dan akalnya bagi kelangsungan hidupnya. Dari proses inilah akhirnya manusia memperoleh pengetahuan.

F. Rekonstruksi Kurikulum Pesantren
Upaya rekonstruksi kurikulum pendidikan pesantren dimaksudkan sebagai bagian dari upaya pengembangan wawasan berpikir peserta didik yang seimbang dan proporsional, antara potensi akal dan kalbu, jasmani dan rohani, potensi diri (internal) dan lingkungan (eksternal). Sebagai sebuah sistem, Islam mengandung muatan-muatan yang dibedakan dalam dua kategori.
Pertama, ajaran dasar yang menjadi referensi bagi landasan hidup dan penyelesainnya dalam mengatasi seluruh problematika akibat rangkaian dinamika struktur sosial-budaya  yang mempunyai kebenaran mutlak dan niscaya tidak runtuh dalam segala perubahan. Ajaran dasar ini mempunyai muatan-muatan nilai universal, yang mempunyai daya relevansi dalam segala tataran ruang dan waktu. Bahkan, ajaran ini memiliki legalitas sakral dan telah secara tuntas-final dikodifikasikan oleh para ulama salaf shalih berupa Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Kedua, ajaran bukan dasar yang merupakan hasil interpretasi dan derivasi dari ajaran dasar. Ajaran ini mengelobarasi muatan ajaran dasar dengan kecenderungan pada aspek-aspek praktis aplikatif. Selain tidak dapat dipertahankan menjadi sebuah kebenaran final, ajaran ini secara formatif terbingkai dalam batasan ruang dan waktu. Karena itu, ia hanya mengandung kebenaran atau kesalahan relatif. Karena ajaran ini lahir sebagai anak dari proses perubahan, maka kualitas jangkauannya dengan sendirinya tidak mampu menjawab segala perubahan, apalagi perkembagan kontemporer yang mempunyai akar budaya yang berbeda. Ajaran bukan dasar ini tersimplikasi terutama dalam berbagai kitab kuning yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan dan dijadikan pedoman sebagai pemahaman dari ajaran dasar.
Dalam pendidikan pesantren, materi ajaran yang diberikan kepada santri secara intens dan simulltan lebih menekankan ajaran yang disebutkan terakhir ini. Lebih menyempit lagi, diskursus yang sangat berkembang hanyalah di bidang fiqh semata, dan ini pun hanya terbatas pada satu pemikiran imam mazhab, yaitu Syafi'i. Bahkan lebih menyempit dari itu, kajian fiqh yang secara intens dibahas adalah bidang (bab) ibadah. Bab-bab lain seperti mu'amalah, janayat, murafa'ah, siyasah, dan al-`alaqah al-dawliyah kurang serius dipelajari.[46] Kurikulum pesantren seperti itu memberikan sebuah konsekuensi eksklusivisme pesantren dari pemikiran lain. Implikasi dari eksklusivisme terwujud dalam tiada budaya kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisi pendidikan pesantren. Kebebasan akademik hampir-hampir tidak diakui lagi, dan sistem munazarah pun telah hilang dari tradisi pesantren.
Apalagi, ternyata, kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren berasal dari satu "gen" atau matan, di mana ia dikembangkan menjadi komentar (syarah), catatan pinggir (hasiyah), bahkan adakalanya muncul dalam bentuk ringkasan (mukhtasar) dan sya'ir (nazham). Dengan demikian kitab-kitab kuning tersebut berjalan dalam siklus yang tetap: mengembang, menyempit, berputar, dan berulang. Sebuah contoh dapat dikemukakan dalam bidang fiqh, yaitu kitab Qurrah a1 `Ayn karangan Malibari (w. 975 H/1567 M). Dari kitab ini lahir kitab kuning Nihayah al-Zayn karangan Syaikh Nawawi al-Bantani dan kitab Fath al­-Mu’in yang merupakan karya lanjutan Malibari sendiri. Kemudian, dua kitab kuning lain lahir dari kitab Fath al-Mu'in, yaitu kitab I'anah al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M), dan kitab Tarsyih al-Mustafi al-Din karangan Alwi as­-Saqqaf (w. 1916 M).[47] Oleh karena itu, bentuk kurikulum pesantren yang tekstual (kitabi) sudah waktunya dikembangkan atau ditambah dengan model tematis (maudu'i) dan diatur secara sistematis agar pengulangan yang tidak berguna dapat dihindari.
Di samping itu, pengajaran kitab kuning lebih menitikberatkan pendalaman dan pengayaan materi dan sangat sedikit diarahkan pada aspek pengembangan teori, metodologi, dan wawasan. Hal itu, bisa dilihat dari metode pengajaran yang digunakan di pesantren. Bandongan dan sorogam misalnya lebih memiliki ciri penekanan tekstual atau literal. Kelemahannya adalah ketika tidak ada dialog antara kiai dan santri, dan kegiatan belajar mengajar hanya terpusat pada kiai, maka santri akan menjadi pasif. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas santri menjadi lemah. Di samping itu kiai tidak segera memperoleh umpan balik tentang penguasaan materi yang disampaikan. Maka, tidaklah heran ketika aspek teori dan metodologi terabaikan,kekayaan materi menjadi sulit dikembangkan dan diekspresikan secara kontekstual dan mengesankan, atau, apalagi, berani melakukan pembaruan pemikiran.
Oleh karena itu, metode pengajaran pendidikan pesantren yang hanya terbatas pada aspek pengayaan materi tekstual saja, sudah harus mulai dikembangkan pada aspek pendalaman, perluasan, pengembangan wawasan, dan pemahaman substansial agar materi kitab kuning tetap aktual dan relevan dengan tuntutan zaman yang selalu berkembang. Untuk itu, metode munazarah (diskusi) bisa dijadikan sebagai alternatif pilihan. Dalam metode ini, penyajian bahan pelajaran dilakukan dengan cara santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik/ masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Kiai/guru, dalam hal ini, bertindak sebagai moderator, dan atau fasilitator. Metode ini bertujuan agar santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis. Dalam konteks ini Al-Zarnuji [48]  dalam karyanya ta'lim al-muta'allim  mengemukakan bahwa diskusi (manazharah) lebih efektif dari pada membaca  berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik dari  pada membaca berulang-ulang salama satu bulan.
Namun, metode bandongan dan sorogan sangat sesuai digunakan ketika jumlah santri yang belajar cukup banyak dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang akan disampaikan cukup banyak. Ia juga tepat apabila digunakan untuk santri tingkat dasar (ibtidaiyah) yang segala sesuatunya masih perlu "disuapi".
 Adapun tentang metode hapalan yang juga intens digunakan dalam pendidikan pesantren, ada sebuah ungkapan yang berbunyi: " al-huffazh hujjah `ala man la yahfazh " (orang -orang yang hapal adalah argumen atas mereka yang tidak hapal). Ungkapan ini benar adanya manakala sistem keilmuan lebih mengutamakan argumen naqli, transmisi, dan periwayatan, karena akan menjadikannya dipercaya dari pada mereka-reka. Tetapi, ketika konsep keilmuan lebih menekankan rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan modern, maka metode hapalan kurang dipandang penting. Sebaliknya, yang penting adalah kreativitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki. Dalam pendidikan modern, ilmu selalu mengandung kemungkinan­kemungkinan untuk digugat dan diterobos.



[1] Pembaruan adalah terjemahan dari modernity (inggris) atau tajdid (Arab). Dalam bahasa Indonesia telah biasa didengar kata modern, modernism. Dalam dunia Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1996, h. 11-12. Menurut Nurcholis Majid, modernisasi identik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Berarti hal itu merupakan perombakan pola berpikir dan tatakerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tatakerja baru yang rasional. Jadi, sesuatu dianggap modern kalau ia bersifat rasional, ilmiyah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam modern. Lihat. Nurcholis Majid, Islam Kemerdekaan dan Keindonesiaan, Bandung, Muaci, 1994, hal. 172. Banyak jargon yang dicitrakan sepadan dengan isu pembaruan, misalnyasaja, modernisasi, reaktualisasi, reformasi, rekonstruksi, revitalisasi, tajdid, westernisasi, dan bahkan sekulerisasi. Lihat catatan kaki Syarif Hidayatullah," Rekonstnaksi Pemikiran Islam : Alternatif Wacana Baru” dalam Marzuki Wahid dkk. (ed.), op. cit., h. 35-36.
[2] Lihat Suyanto & Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi : Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, Yokyakarta, Adicita Karya Nusa, 2000, h. 4.
[3] Ibid., h. 3.
[4] Ibid.
[5] Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan : Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2001, h. 375.
[6] Suyoto, “ Pesantren dalam Pendidikan Indonesia” dalam Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1985, h. 69.
[7] Kutipan di atas disadur oleh Suyoto dari penyiaran Kementrian Agama No. 12, 1951. Lihat Ibid., h. 72-73.
[8] Ibid., h. 64.
[9] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah  : Pendidikan Islam dalam kurun Modern, Jakarta, LP3ES, h.88.
[10] Seperti yang dilakukan oleh LP3ES yang menerbitkan buku tentang profil pesantren tahun 1974, hasil penelitian terhadap pesantren Al-Falak di pangentongan Bogor. Juga apa yang dilakukan oleh M. Amin Mansur yang mengumpulkan berbagai artikel yang terserak-serak diberbagai media massa dalam sebuah bibliografi tahun 1976. M. Dawam Raharjo yang mngedit buku reader "Pesantren dan pembahanian, dan lain-lain. Lihat Abdurrahman Wahid, Pesantren dan Pengembangan” dan bunga rampai karya tulisnya, Jakarta, CV. Darma Bakti, 1399 H., h. 158.
[11] Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama menawarkan dan mengembangkan program pendidikan ketrampilan. Semula program ini dimaksudkan sebagai program pelengkap untuk memperkenallcan dan mengembangkan penghargaan kepada nilai penting dari kerja tangan sebagai pengganti inteletualisme keagamaan yang bersifat verbalis3is yang telah berabad-abad melatarbelakangi sikap hidup keluarga pesantren. Lihat Abdurrahman Wahid, op. cit.. h 159.
[12] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Ciputat, Logos Wacana ilmu, 2001, h. 146.
[13] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta, LP3ES, 1984, h. 18. Istilah pesantren dikenal dengan surau di Minang Kabau, Penyantren di Madura, pondok di Jawa Barat, dan rangkang di Aceh.
[14] Husni Rahim, op. cit., h. 145 c.
[15] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan madrasah, Yokyakarta, Tiara Wacana, 2000, h. 8-9.
[16] M. Dawam Raharjo, "Dunia Pesantren Dalam Peta Pembaharuan", dalam M. Dawam Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1985, hal. 25.
[17] Mukti Ali, Beberapa Persoalarr Agama Dewasa Ini, Jakarta, CV. Rajawali, 1987, h. 17­
[18] Metode wetonan atau bandongan, termasuk dalam metode ini sistem khalaqah, yaitu sekelompok santri duduk di sekeliling kyai/guru, kemudian kyai/guru membaca, menterjemahkan, dan mengulas buku-buku Islam yang berbahasa Arab. Sedangkan santri mendengarkan dan memperhatikan bukunya sendiri sambil membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Adapun sorogan adalah metode peagajaran individual, dengan cara santri menghadap kyai/guru dan membawa kitab yang akan dipelajari. Sistem sorogan ini adalah bagian yang paling sulit dari keseluruhan  sistem pendidikan Islam tradisional. Sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan , ketaatan, dan disiplin pribadi dari santri. Sedangkan sistem musyawarah adalah sistem di mana santri mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk kyai. Kyai memimpin musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab, dan merupakan latihan bagi santri untuk menguji ketrampilannya dalam menghadapi sumber-sumber argumernasi dalam kitab-kitab klasik. Sebelum menghadap kyai, para santri biasanya menyelenggarakan diskusi terlebih dahulu antara mereka sendiri, dan menunjuk salah seorang juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang disodorkan oleh kyai, baru setelah itu diikuti dengan diskusi bebas. Lihat Zamakhsyari Dhofier, op. Cit., h. 28-31.
[19] Ibid., h. 44-60
[20] Sukamto, Kepemimpinan  kiai  Dalam  Pesantren, Jakarta, LP3ES, 1999, h. 3.
[21] Kafrawi, op. Cit., h., 27-28.
[22] Depag, Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pescntren, t.t., t.p., 1981, h., 2.
[23] Zamakhsyari Dhofier, op. Cit., h., 55
[24] Ibid.,h.
[25] Berdasarkan penelitian Sukamto, antara santri sarung dan santri celana mempunyai perbedaan jika dilhat dari hubungan mereka dengan kiyai. Santri sarung lebih komunikatif dan dekat kiyai, karena tidak ada sekat antara keduanya. Sedangkan santri celana memandang posisi kyai cenderung pada aspek kepemilikan lembaga pesantren dari pada ilmu Agama, dan sifat hubungannya lebih birokratis. Lihat Sukamto, op. Cit., h., 47-54.
[26] Zamakhsyari Dhofier, op. cit. h., 47-54
[27] Haidar Putra Daulay, op. cit., h., 16
[28] Sukamto, op. cit., h., 140-1.
[29] Mastuhu, "Prinsif Pendidikan Pesantren", dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karchea (ed.), Dinamika Pesarrtren, Jakarta, P3M, 1988, h., 21
[30] Kafrawi, op. cit., h., 47. 94  dan lihat juga Depag, op. cit., h., 6
[31] Lihat M. Habib Chirzin, "IImu dan Agama Dalam Pesantren", dalam M. Dawam Raharjo (ed).op. cit., h., 86.
[32] Pengertian kitab kuning atau disebut juga kitab klasik (al-kutub al-qadimah) yang beredar di kalangan pemerhati masalah pesantren adalah kitab keagamaan berbahasa Arab sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (al salaf) yang ditulis dalam format khas pra-modern, sebelum abad ke-l7-an M. Istilah kitab kuning itu sendiri pada awalnya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren dengan nada merendahkan . la dianggap sebagai kitab yang berkadar keilmuan rendah, ketinggalan zaman, dan salah satu penyebab penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Walaupun menyakitkan,  tetapi kemudian nama kitab kuning diterima secara meluas sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan. Lihat Affandi Mochtar," Tadisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum", Dalam Marzuku Wahid, Suwendi, dan Saifuddin Zuhri (ed.), Pescmtren Masa Depan Pendidikan,: Wacana Pemberdayaun dan Transformasi Pesantren, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999, h. 221-2
[33] Husein Muhammad, "Kontekstualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian dan Bentuk Pengajaran," dalam Marzuku Wahid,Suwendi, Saefuddin Zuhri, op. cit., h., 270.
[34] Pada penelitian sebelumnya yaitu pada akhir abad ke-19 L.W.C. van den Berg hanya menemukan 54  judul  kitab  kuning. Meningkatnya jumlah judul kitab kuning disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) banyak  kyai yang  menulis  kitab sendiri, baik dengan menggunakan bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa lokal yang ditulis dengan Arab Melayu (pegon), (2) beberapa kyai melakukan penyederhanaan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab yang ada dalam rangka penyesuaian materi, bahasa, maupun pembahasannya, (3) mulai diadopsinya kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena tidak sealiran dengan paham pesantren, misalnya kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i, (4) pesantren juga mulai mengaji kitab-kitab al-`ashriyyah, karya ulama modern. Lihat DEPAG RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta, DEPAG, 2001, h., 32.
[35] Karel A. Steenbrink, Beberqpa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta, Bulam Bintang, 1984, h., 157.
[36] Kecenderungan pesantren terhadap studi fikih, sudah dimulai abad ke-17. Islam Indonesia yang semula berorientasi  tasawuf  secara berangsur-angsur dan bertahap  menjadi lebih berorientasi syari'ah. Hal ini antara lain disebabkan suatu proses gerakan  pembaharuan atau "pemurnian" yang sudah mulai abad ke-17 tersebut. Gelombang pembaharuan tersebut misalnya tampak pada kemunculan gerakan Padri di Sumatra barat yang dikenal sebagai bersemangat Wahabi. Kaum Muda dan gerakan modernis seperti Al-Irsyad, Muammadiyah, dan Persis. Tarekat Naqsabandiyah yang lebih berorientasi syari'ah dari pada tarekat sebelumnya, setidak-tidaknya ikut berpartisipasi dalam proses pembahatvan tersebut. Sampai munclnya tarekat Naqsabandiyah tersebut pada akhir abad ke-17, gelombang pembaharuan pembaharuan itu masing-masing membawa perhatian yang lebih besar terhadap fikih dan kemuadian juga ushul fikih. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa..., op. cit., h., 143-4, 173-4.
[37] Untuk mengetahui garis perkembangan kitab-kitab tersebut di atas, lihat Affandi Mochtar, op. cit. h., 242-3.
[38] Chozin Nandia,.Epistemologi Kitab Kuning", dalam Marzuki Wahid et. Al., op. Cit., h.,265.
[39] Lihat Husein Muhammad, op. Cit., hal. 274. 281. 
[40] Depag, Standarisasi... op. cit., h., 6
[41] A Syafi'i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam, Bandung, Mizan, 1994, hal. 150.
[42] Abdul Mu'in Muhammad Khallaf, Agama Dalam Pespektif Rasional, terj., Jakarta, Pustaka Firdaus, 1992, h., 101.
[43] M. Quraisy Shihab, Membumikan  Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994, h., 172-173.
[44] Abdurahnan Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj. Jakarta, Rineka Cipta, 1990, h., 137.
[45] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam:  Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdispliner, Jakarta, Bumi Aksara , 1993, h.  229.
[46] Suwendi,”Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa Catatan”, dalam Marzuki Wahid dkk., Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung, Pustaka Hidayat, 1999, h. 210.
[47] Lihat Suwendi, op. cit., h. 113.
[48] Burhan al-Islam al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, tt. Dar Ihya’al-Kutub al-‘Arabiyah, tt., h. 30












Pesantren Tahfiz Imam al-Ghazali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram